Masjid Al Qadri Darunnajah

Jalan Darunnajah Desa Baning Kota Kecamatan Sintang Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat

Shalat Idul Adha 9 Dzulhijah 1433 H/2012

Alhamdulillah Pelaksanaan Tahun ini Masjid Dapat Melaksanakan Shalat Idul Adha 9 Dzulhijah 1433 H/2012 dengan lancar dan khusyu.

Shalat Idul Adha 9 Dzulhijah 1433 H/2012

Shalat Idul Adha Dihadiri Jama'ah Sekitar Masjid Al Qadri Darunnajah

Penyembelihan Hewan Qurban

Pembagian Hewan Qurban yang dilakukan oleh Ketua Pengurus Masjid Al Qadri Darunnajah Bapak Subandi yang akan disalurkan kepada kaum muslim dan muslimat yang membutuhkan.

Pelaksanaan Penyembelihan Hewan Qurban

Pelaksanaan Penyembelihan Hewan Qurban yang dilaksanakan pada hari sabtu, 27 Oktober 2012 oleh Pengurus MasjidAl Qadri serta Jama'ah Masjid.

Kamis, 30 Agustus 2012

Keutamaan Hari Jum’at dan Sunnah-sunnahnya








بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji hanya bagi Allah , shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah , dan aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya selain Allah yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan -Nya.. Amma Ba’du:
Sesungguhnya Allah  telah mengkhususkan umat Nabi Muhammad  dan mengistimewakan mereka dari umat-umat yang lainnya dengan berbagai keistimewaan. Diantaranya adalah Allah  memilihkan bagi mereka hari yang agung yaitu hari jum’at.
A. Keutamaan Hari Jum’at
Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab shahihnya dari Abi Hurairah dan Hudzaifah -radhiallahu ‘anhuma- berkata, “Allah  telah merahasiakan hari jum’at terhadap umat sebelum kita, maka orang-orang Yahudi memiliki hari sabtu, orang-orang Nashrani hari ahad, maka Allah  mendatangkan umat ini, lalu Dia menunjukan kita hari jum’at ini, maka Dia menjadikan urutannya menjadi jum’at, sabtu ahad, demikian pula mereka akan mengikuti kita pada hari kiamat, kita adalah umat terakhir di dunia ini namun yang pertama di hari kiamat, yang akan diputuskan perkaranya sebelum makhluk yang lain.” (HR. Muslim no: 856)
Dalam hadits lain, Rasulullah  bersabda, “Hari terbaik terbitnya matahari adalah pada hari jum’at, pada hari itu Adam diciptakan, pada hari itu pula dimasukkan ke dalam surga dan pada hari itu tersebut dia dikeluarkan dari surga.” (HR. Muslim no: 854)
Di antara keutamaan hari ini adalah Allah menjadikan hari ini sebagai hari ‘ied bagi kaum muslimin. Dari Ibnu Abbas  bahwa Nabi Muhammad  bersabda, “Sesungguhnya hari ini adalah hari raya, Allah menjadikannya istimewa bagi kaum muslimin, maka barangsiapa yang akan mendatangi shalat jum’at maka hendaklah dia mandi.” (Ibnu Majah no: 1098)
Pada hari ini terdapat saat terkabulnya do’a, yaitu saat di mana tidaklah seorang hamba meminta kepada Allah  padanya kecuali dia akan dikabulkan permohonannya. Dari Abi Hurairah , bahwa Nabi Muhammad  bersabda, “Sesungguhnya pada hari jum’at terdapat satu saat tidaklah seorang muslim mendapatkannya dan dia dalam keadaan berdiri shalat dia meminta kepada Allah suatu kebaikan kecuali Allah memberikannya, dan dia menunjukkan dengan tangannya bahwa saat tersebut sangat sedikit.” (HR. Muslim no: 852 dan Bukhari no: 5294)
Para ulama berbeda pendapat tentang waktu terjadinya dan pendapat yang paling kuat adalah dua pendapat :
1. Yaitu saat duduknya imam sehingga shalat selesai, dan alasan ulama yang berpendapat seperti ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab shahihnya dari Abi Barrah bin Abi Musa bahwa Abdullah bin Umar  berkata kepadanya, “Apakah engkau pernah mendengar bapakmu membacakan sebuah hadits yang berhubungan dengan saat mustajab pada hari jum’at?. Dia berkata: Ya aku pernah mendengarnya berkata: Aku telah mendengar Rasulullah  bersabda, “Dia terjadi saat antara imam duduk sehingga shalat selesai ditunaikan.” (HR. Muslim no. 853)
2. Dia terjadi setelah asar, dan pendapat inilah yang paling kuat di antara dua pendapat tersebut, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Nasa’i dari Jabir d bahwa Nabi Muhammad  bersabda, “Hari jum’at itu dua belas jam, tidaklah seorang hamba yang muslim memohon kepada Allah sesuatu pada hari itu kecuali Dia akan memperkenankan permohonan hamba -Nya itu, maka carilah dia pada akhir waktu asar” (HR. An-Nasa’i: no: 1389).
Pendapat inilah yang dipegang oleh sebagian besar golongan salaf, dan telah didukung oleh berbagai hadits. Adapun tentang hadits riwayat Abi Musa yang sebelumnya maka hadits tersebut memiliki banyak cacat dan telah disebutkan oleh Al-hafiz Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Bari. (Fathul Bari : 2/421-422)
Di antara keutamaannya adalah bahwa hari itu adalah hari dihapuskannya dosa-dosa. Dari Abi Hurairah  bahwa Nabi Muhammad  bersabda, “Shalat lima waktu, jum’at ke jum’at yang lainnya dan ramadhan ke ramadhan yang lain adalah penghapus dosa antara keduanya selama dosa-dosa besar dijauhi”. (HR Muslim no. 233)
B.        Adab-adab Hari Jum’at
Di antara adab-adab jum’at yang perlu dijaga oleh orang yang beriman adalah:
1.  Disunnahkan bagi imam untuk membaca, الم تنزيل yaitu surat As-Sajdah dan surat Al-Insan pada saat shalat fajar pada hari jum’at. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab shahihnya dari hadits riwayat Ibnu Abbas  bahwa Nabi Muhammad  membaca pada waktu shalat fajar pada hari jum’at, (الم تنزيل) As-Sajdah dan Al-Insan (HR. Muslim no. 879)
2. Disunnahkan memperbanyak shalawat kepada Nabi Muhammad  pada hari jum’at atau pada waktu malamnya, berdasarkan sabda Nabi  dari Aus bin Aus, “Hari terbaik kalian adalah hari jum’at, pada hari itu Adam diciptakan, pada hari itu dicabut nyawanya, pada hari itu akan terjadi tiupan sangkakala, pada hari itu dimatikannya seluruh makhluk pada hari kiamat, maka perbanyaklah membaca shalawat bagiku sebab shalawat kalian didatangkan kepadaku”. Mereka bertanya, “wahai Rasulullah, bagiamana shalawat kami didatangkan kepadamu padahal dirimu telah menjadi tulang belulang yang telah remuk? Atau mereka berkata: Engkau telah remuk mejadi tanah?. Maka Nabi Muhammad  bersabda: Sesungguhnya Allah  telah mengharamkan kepada bumi memakan jasad para Nabi ‘alaihimus shalatu was salam.” ( HR. An-Nasa’I no: 1374)
Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Nabi Muhammad  bersabda: “Perbanyaklah membaca shalawat bagiku pada hari jum’at dan malam jum’at, sebab barangsiapa yang membaca shalawat kepadaku satu shalawat saja maka Allah  akan membaca shalawat kepadanya sepuluh kali shalawat”. (HR. Al-Baihaqi 3/249 no. 5790)
Namun, tentu perlu kita perhatikan bahwa shalawat itu harus sesuai sunnah. Yang paling gampangnya adalah sebagaimana shalawat kita di waktu membaca tahiyyat di waktu shalat.
Bukan bershalawat dengan shalawat yang tidak ada tuntunannya (shalawat-shalawat bid’ah), atau bahkan shalawat yang diharamkan karena mengandung kesyirikan, sebagaimana yang tersebar di masyarakat, yang jika betul-betul kita cermati, maka akan kita dapatkan kata-kata yang melampaui batas dalam memuji Nabi , menetapkan bahwa beliau mempunyai sifat-sifat ketuhanan, ataupun bertawasul dengan hal yang dilarang.
Tentang memuji Nabi dengan berlebihan, ini sudah dilarang oleh Nabi ,  sebagaimana sabda beliau dalam hadits Umar , “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagai-mana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji ‘Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka kata-kanlah, ‘‘Abdullaah wa Rasuuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya).” (HR. Bukhari no. 3445)
Dengan kata lain, Rasulullah  mengaskan, janganlah kalian memujiku secara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku. Hal itu sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa -‘alaihissalam-, sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku, maka katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.” (Aqiidatut Tauhiid hal. 151)
Dan juga, pelaksanaan “shalawat-an”  ini tidak perlu dilakukan secara berjama’ah di tempat-tempat yang dikeramatkan, di kuburan, atau diacarakan di masjid-masjid dengan menggunakan rebana-rebana. Semua ini tidak ada tuntunanya, bahkan dilarang dalam agama Islam. Cukup kita laksanakan sendiri-sendiri, karena Allah  Maha Mengetahui semua amalan hambanya.
3. Perintah untuk mandi jum’at dan masalah ini sangat ditekankan, bahkan sebagian ulama mengatakan wajib.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim di dalam kitab shahihnya dari Abi Sa’id Al-Khudri  berkata: “Aku bersaksi bahwa Rasulullah  bersabda: Mandi pada hari Jum’at diwajibkan bagi orang yang telah mencapai usia baligh dan menjalankan shalat sunnah dan memakai minyak wangi jika ada.” (HR. Bukhari no.880)
4. Disunnahkan menggunakan minyak wangi dan siwak, memakai pakaian yang terbaik. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya dari Abi Sa’id Al-Khudri dan Abi Hurairah  bahwa Nabi Muhammad  bersabda, “Barangsiapa yang mandi pada hari jum’at, memakai siwak, memakai pakaian yang terbaik, memakai minyak wangi jika dia memilikinya, memakai pakaian yang terbaiknya kemudian mendatangi masjid sementara dia tidak melangkahi pundak-pundak orang lain sehingga dia ruku’ (shalat) sekehendaknya, kemudian mendengarkan imam pada saat imam berdiri untuk berkhutbah sampai dengan selesai shalatnya maka hal itu sebagai penghapus dosa-dosa yang terjadi antara jum’at ini dengan hari jum’at sebelumnya.” (HR. Imam Ahmad: 3/81)
5. Membaca surat Al-Kahfi. Diriwayatkan  oleh Al-Hakim dari hadits Abi Said Al-Khudri  bahwa Nabi Muhammad  bersabda, “Barangsiapa yang membaca surat Al-kahfi pada hari jum’at maka sinar akan memancar meneranginya antara dua jum’at”. (Al-Hakim: 3/81)
6. Disunnahkan bersegera menuju shalat jum’at.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam musnadnya dari Aus Ats-Tsaqofi dari Abdullah bin Amru  berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah  bersabda: “Barangsiapa yang memandikan dan mandi, lalu bergegas menuju masjid, mendekat kepada posisi imam, mendengar dan memperhatikan khutbah maka baginya dengan setiap langkah yang dilangkahkannya akan mendapat pahala satu tahun termasuk puasanya.” (Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya: 2/209)
Diriwayatkan dari Abi Hurairah  bahwa Nabi Muhammad  bersabda: “Barangsiapa yang mandi pada hari jum’at yang sama seperti mandi janabah kemudian bersegera (datang pertama ke masjid) pergi ke masjid maka dirinya seakan telah berkurban dengan seekor unta yang gemuk. Dan barangsiapa yang pergi pada masa ke-2 maka dia seakan berkurban dengan seekor sapi. Dan barangsiapa yang pergi ke masjid pada saat yang ke-3  maka dia seakan telah berkurban dengan seekor kambing yang bertanduk. Dan barangsiapa yang pergi ke masjid pada saat yang ke-4 maka dia seakan telah berkurban dengan seekor ayam. Dan barangsiapa yang pergi ke masjid pada saat yang ke-5 maka dia seakan telah berkurban dengan sebutir telur. Dan apabila imam telah datang, maka para malaikat hadir mendengarkan dzikir (khutbah).” ( HR. Bukhari no. 881)
Dan bersegera menuju masjid untuk shalat jum’at termasuk perbuatan sunnah yang agung nilainya, namun banyak dilalaikan oleh banyak masyarakat, dan semoga hadits-hadits yang telah disebutkan di atas bisa memberikan motivasi dan memperkuat tekad, serta mengasah semangat untuk bersegera meraih nilai yang utama ini. Allah  berfirman, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali-Imron: 133). Wallohu a’lam.

Rujukan: Shahih Targhib wa Tarhib, karya Al-Hafidz Abu ‘Adzim al-Mundziri, dsb

Sumber : http://almadinah.or.id/452-keutamaan-hari-jum’at-dan-sunnah-sunnahnya

Minggu, 26 Agustus 2012

Keutamaan Puasa Enam Hari Syawal

 


Keutamaan Puasa Enam Hari Syawal
Abu Ayyub al-Anshari radhiallaahu 'anhu meriwayatkan, Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun." (HR. Muslim)

Imam Ahmad dan an-Nasa'i, meriwayatkan dari Tsauban, Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Puasa Ramadhan ganjarannya sebanding dengan (puasa) sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari (di bulan Syawal, pahalanya) sebanding dengan (puasa) dua bulan, maka bagaikan berpuasa selama setahun penuh." (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hubban dalam "Shahih" mereka)

Dari Abu Hurairah radhallaahu 'anhu, Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa berpuasa Ramadhan lantas disambung dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia bagaikan telah berpuasa selama setahun." (HR. al-Bazzar)

Pahala puasa Ramadhan yang dilanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal menyamai pahala puasa enam hari penuh, karena setiap hasanah (kebaikan) diganjar sepuluh kali kelipatannya, sebagaimana telah disinggung dalam hadits Tsauban di muka.

Membiasakan puasa setelah Ramadhan memiliki banyak manfa'at, di antaranya:
1. Puasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan, merupakan pelengkap dan penyempurna pahala dari puasa setahun penuh.

2. Puasa Syawal dan Sya'ban bagaikan shalat sunnah rawathib, berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan, karena pada hari Kiamat nanti perbuatan-perbuatan fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-perbuatan sunnah. Sebagaimana keterangan yang datang dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam di berbagai riwayat. Mayoritas puasa fardhu yang dilakukan kaum muslimin memiliki kekurangan dan ketidaksempurnaan, maka hal itu membutuhkan sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya.

3. Membiasakan puasa setelah Ramadhan menandakan diterimanya puasa Ramadhan, karena apabila Allah Ta'ala menerima amal seseorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya. Sebagian orang bijak mengatakan, "Pahala amal kebaikan adalah kebaikan yang ada sesudahnya." Oleh karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama. Demikian pula sebaliknya, jika seseorang melakukan sesuatu kebaikan lalu diikuti dengan yang buruk, maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang pertama.

Puasa Ramadhan -sebagaimana disebutkan di muka- dapat mendatangkan maghfirah atas dosa-dosa masa lalu. Orang yang berpuasa Ramadhan akan mendapatkan pahalanya pada hari Raya Iedul Fithri yang merupakan hari pembagian hadiah, maka membiasakan puasa setelah Iedul Fithri merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat ini. Dan sungguh tak ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa.

oleh karena itu termasuk sebagian ungkapan rasa syukur seorang hamba atas pertolongan dan ampunan yang telah dianugerahkan kepadanya adalah dengan berpuasa setelah Ramadhan. Tetapi jika ia justru mengggantinya dengan perbuatan maksiat, maka ia termasuk kelompok orang yang membalas kenikmatan dengan kekufuran. Apabila ia berniat pada saat melakukan puasa untuk kembali melakukan maksiat lagi, maka puasanya tidak akan terkabul, ia bagaikan orang yang membangun sebuah bangunan megah lantas menghancurkannya kembali. Allah Ta'ala berfirman, artinya, "Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai lagi." (QS. an-Nahl: 92)

5. Dan di antara manfa'at puasa enam hari di bulan Syawal adalah amal-amal yang dikerjakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya pada bulan Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini, selama ia masih hidup. Orang yang setelah Ramadhan berpuasa bagaikan orang yang cepat-cepat kembali dari pelariannya, yakni orang yang baru lari dari peperangan fi sabilillah lantas kembali lagi. Sebab tidak sedikit manusia yang berbahagia dengan berlalunya Ramadhan, sebab mereka merasa berat, jenuh dan lama berpuasa Ramadhan.

Barangsiapa yang mereka demikian maka sulit baginya untuk bersegera kembali melaksanakan puasa, padahal orang yang bersegera kembali melaksanakan puasa setelah Iedul Fithri merupakan bukti kecintaannya terhadap ibadah puasa, ia tidak merasa bosan dan berat apalagi benci.

Seorang ulama Salaf ditanya tentang kaum yang bersungguh-sungguh dalam ibadahnya di bulan Ramadhan tetapi jika Ramadhan berlalu mereka tidak bersungguh-sungguh lagi, beliau berkomentar, "Seburuk-buruk kaum adalah yang tidak mengenal Allah Ta'ala secara benar kecuali di bulan Ramadhan saja, padahal orang shalih adalah yang beribadah dengan sungguh-sungguh di sepanjang tahun."

Oleh karena itu sebaiknya orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan memulai membayarnya di bulan Syawal, karena hal itu akan mempercepat proses pembebasan dirinya dari tanggungan hutangnya. Kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa Syawal. Dengan demikian telah melakukan puasa Ramadhan dan mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal.

Ketahuilah amal perbuatan seorang mukmin itu tidak ada batasnya hingga maut menjemputnya. Allah Ta'ala berfirman,artinya, "Dan sembahlah Tuhan-mu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)." (QS. al-Hijr: 99)

Dan perlu diingat pula bahwa shalat-shalat dan puasa serta shadaqah yang dipergunakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala pada bulan Ramadhan adalah disyari'atkan sepanjang tahun, karena hal itu mengandung berbagai macam manfaat, di antaranya; ia sebagai pelengkap dari kekurangan yang terdapat pada fardhu, merupakan salah satu faktor yang mendatangkan mahabbah (kecintaan) Allah kepada Hamba-Nya, sebab terkabulnya doa, demikian pula sebagai sebab dihapuskannya dosa dan dilipatgandakannya pahala kebaikan dan ditinggikannya kedudukan.

Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan, shalawat dan salam semoga tercurahkan selalu keharibaan Nabi, segenap keluar dan sahabat beliau.

Sumber: www.alsofwah.or.id / Keutamaan Puasa Enam Hari Syawal dari Risalah Ramadhan, oleh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim al-Jarullah.

Kamis, 23 Agustus 2012

Bismillah

Dengan Mengucap Bismillahirahmanirahim...
Semoga Blog ini membawa manfaat untuk kepentingan kita semua amiin...
mohon kritik saran serta dukungannya..
agar lebih baik lagi isi yg disampaikan.

Senin, 20 Agustus 2012

Salam Idul Fitri 1433 H


Pengurus Masjid Al Qadri Darunnajah, Kota Sintang Kalbar
Mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1433 H, Mohon Maaf Lahir dan Bathin

Minggu, 19 Agustus 2012

Bolehkah Membayar Zakat Dengan Uang ?




UKURAN ZAKAT FITRI

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma; beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, berupa satu sha’ kurma kering atau gandum kering ….” (Hr. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadis ini disebutkan secara tegas bahwa ukuran zakat fitri adalah satu sha’.
Apa itu sha’?
Sha’ adalah ukuran takaran, bukan timbangan. Ukuran takaran “sha’” yang berlaku di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ukuran takaran masyarakat Madinah. Besarnya adalah empat mud. Satu mud adalah besar cakupan penuh dua telapak tangan ukuran normal yang digabungkan., sehingga satu sha’ adalah empat kali cakupan penuh dua telapak tangan ukuran normal yang digabungkan.
Mengingat sha’ adalah ukuran takaran maka umumnya ukuran ini sulit untuk disetarakan (dikonversi) ke dalam ukuran berat karena nilai berat satu sha’ itu berbeda-beda, tergantung benda yang ditakar. Untuk satu sha’ tepung, beratnya tidaklah sama dengan satu sha’ beras. Oleh karena itu, yang ideal, ukuran zakat fitri itu berdasarkan takaran, bukan berdasarkan timbangan.
Namun, alhamdulillah, melalui kajian para ulama, Allah memudahkan kita untuk masalah ini. Para ulama (Lajnah Daimah Saudi, no. fatwa: 12572) telah melakukan penelitian bahwa satu sha’ untuk beras dan gandum memiliki berat kurang lebih 3 kilogram.
Sebagai tambahan informasi, berikut ini rincian ukuran satu sha’ untuk berbagai jenis makanan (Ahkam Zakat Fitri):
No.
Satu sha’ jenis bahan makanan
Konversi dalam kg
1.
Beras 3
2.
Kacang polong 3
3.
Dedak 3
4.
Kurma sedang 3,5
5.
Adas kuning 3,5
6.
Kacang 3

Bolehkah membayar zakat lebih dari satu sha’?

Syekhul Islam ditanya tentang orang yang membayar zakat fitri lebih dari satu sha’, padahal dia paham bahwa zakat fitri itu satu sha’. Perbuatan ini hukumnya sunah atau makruh?
Beliau menjawab, “Ya, diperbolehkan (membayar lebih dari satu sha’) dan itu tidak makruh, menurut kebanyakan ulama, seperti: Asy-Syafi’i, Ahmad, dan yang lain. Pendapat yang menyatakan makruh hanya dinukil dari Imam Malik. Adapun mengurangi dari kadar satu sha’ maka hukumnya tidak boleh, dengan kesepakatan ulama.” (Majmu’ Fatawa, 25:70)
Catatan:
Membayar zakat fitri lebih dari satu sha’ ini diperbolehkan jika untuk kehati-hatian dalam takaran atau dengan niat menyedekahkan kelebihannya. Adapun jika hal ini dilakukan dengan takalluf (memberat-beratkan diri sendiri) maka hal ini tidak diperbolehkan.


BOLEHKAH ZAKAT FITRAH DENGAN UANG?  

Tanya : Ustadz, apakah boleh kita membayar zakat fitrah dalam bentuk uang?


Jawab : Ada khilafiyah di kalangan fuqaha dalam masalah ini menjadi dua pendapat. Pertama, pendapat yang membolehkan. Ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Tsauri, Imam Bukhari, dan Imam Ibnu Taimiyah. (As-Sarakhsi, al-Mabsuth, III/107; Ibnu Taimiyah, Majmu' al-Fatawa, XXV/83).
Dalil mereka antara lain firman Allah SWT (artinya),"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka." (QS at-Taubah [9] : 103). Menurut mereka, ayat ini menunjukkan zakat asalnya diambil dari harta (mal), yaitu apa yang dimiliki berupa emas dan perak (termasuk uang). Jadi ayat ini membolehkan membayar zakat fitrah dalam bentuk uang. (Rabi' Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha'am, hal. 4).
Mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi SAW,"Cukupilah mereka (kaum fakir dan miskin) dari meminta-minta pada hari seperti ini (Idul Fitri)." (HR Daruquthni dan Baihaqi). Menurut mereka, memberi kecukupan (ighna`) kepada fakir dan miskin dalam zakat fitrah dapat terwujud dengan memberikan uang. (Abdullah Al-Ghafili, Hukm Ikhraj al-Qimah fi Zakat al-Fithr, hal. 3).
Kedua, pendapat yang tidak membolehkan dan mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan pokok (ghalib quut al-balad). Ini adalah pendapat jumhur ulama Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah. (Al-Mudawwanah al-Kubra, I/392; Al-Majmu', VI/112; Al-Mughni, IV/295).
Dalil mereka antara lain hadits Ibnu Umar RA bahwa,"Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah berupa satu sha' kurma atau satu sha' jewawut (sya') atas budak dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa, dari kaum muslimin." (HR Bukhari, no 1503). Hadits ini jelas menunjukkan zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk bahan makanan, bukan dengan dinar dan dirham (uang), padahal dinar dan dirham sudah ada waktu itu. (Rabi' Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha'am, hal. 9).
Menurut kami, yang rajih adalah pendapat jumhur yang tak membolehkan zakat fitrah dengan uang dan mewajibkannya dalam bentuk makanan pokok. Alasan kami : Pertama, ayat QS at-Taubah : 103 memang bersifat global (mujmal), yaitu zakat itu diambil dari harta (mal). Namun telah ada penjelasan (bayan) dari As-Sunnah yang merinci bahwa harta yang dikeluarkan dalam zakat fitrah adalah bahan makanan, bukan uang.
Kedua, hadits yang dijadikan dalil adalah dhaif (lemah), karena ada seorang periwayat hadits bernama Abu Ma'syar yang dinilai lemah. Demikianlah menurut Imam Nawawi (al-Majmu' VI/126), Ibnu Hazm (al-Muhalla, VI/121), Imam Syaukani (Nailul Authar, IV/218), Imam az-Zaila'i (Nashbur Rayah, II/431), Ibnu Adi, (al-Kamil fi adh-Dhuafa, VII/55), dan Imam Nashiruddin al-Albani (Irwa`ul Ghalil, III/844). Padahal hadits dhaif tidak layak dijadikan dasar hukum.
Kalaupun dianggap sahih, hadits itu bersifat mutlak, tanpa penjelasan bagaimana caranya mewujudkan kecukupan (ighna`). Maka as-Sunnah memberikan pembatasan (taqyid) mengenai caranya, yaitu mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan, bukan dengan uang. (Nada Abu Ahmad, Ahkam Zakat al-Fithr Hal Yajuzu Ikhrajuha Qiimah, hal. 35).
Kesimpulannya, tidak boleh membayar zakat fitrah dalam bentuk uang, melainkan wajib dalam bentuk bahan makanan pokok. Wallahu a'lam.


Hingga saat ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan Ulama - Ulama Besar Kerajaan Arab Saudi, dan masing-masing memiliki dasar.